Sabtu, 25 Februari 2017

METADATA TAK SEKEDAR KATALOGISASI




 
Pengertian metadata sangatlah beragam. Menurut Wikipedia definisi sederhana dari metadata adalah data mengenai data. Metadata ini mengandung informasi mengenai isi dari suatu data yang dipakai untuk keperluan manajemen file/data itu nantinya dalam suatu basis data. Jika data tersebut dalam bentuk teks, metadatanya biasanya berupa keterangan mengenai nama ruas (field), panjang field, dan tipe fieldnya: integer, character, date, dll. Untuk jenis data gambar (image), metadata mengandung informasi mengenai siapa pemotretnya, kapan pemotretannya, dan setting kamera pada saat dilakukan pemotretan. Untuk jenis data berupa kumpulan file, metadatanya adalah nama-nama file, tipe file, dan nama pengelola (administrator) dari file-file tersebut.
Konsep metadata secara sederhana sejatinya ialah data yang mengatur data. Dalam dunia perpustakaan, konsep metadata seperti ini sudah dikenal sejak lama, walupun di kalangan perpustakaan tidak menggunakan istilah metadata. Sebagai contohnya adalah katalog perpustakaan. Katalog perpustakaan sebenarnya apabila dilihat dari elemen dasarnya adalah sebagai dokumen, dan apabila dokumen itu mengandung data, maka boleh saja dikatakan bahwa katalog sebagai data dari data. Di kalangan pustakawan memang tidak terbiasa menggunakan istilah metadata untuk menyebut katalog. Tetapi apabila dilihat dari sumber informasi dari katalog tersebut, sudah sangat jelas bahwa katalog merupakan salah satu jenis metadata. Perbedaan antara katalog dengan metadata adalah metadata memiliki scope yang lebih besar/luas daripada katalog. Kedua ialah bahwa masih banyak bagian dari metadata yang dilakukan di luar perpustakaan. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah metadata yang baik menggunakan prinsip-prisip dasar katalogisasi.
Metadata yang biasa digunakan di perpustakaan adalah Marc dan Dublin Core. Untuk lebih jelasnya kita akan menguraikannya satu persatu.
Indomarc
Machine Readable Cataloging (MARC) merupakan salah satu hasil dan juga sekaligus salah satu syarat penulisan katalog koleksi bahan pustaka perpustakaan. Standar metadata katalog perpustakaan ini dikembangkan pertama kali oleh Library of Congress, format LC MARC ternyata sangat besar manfaatnya bagi penyebaran data katalogisasi bahan pustaka ke berbagai perpustakaan di Amerika Serikat. Keberhasilan ini membuat negara lain turut mengembangkan format MARC sejenis bagi kepentingan nasionalnya masing-masing.
Format INDOMARC merupakan implementasi dari International Standard Organization (ISO) Format ISO 2719 untuk Indonesia, sebuah format untuk tukar-menukar informasi bibliografi melalui format digital atau media yang terbacakan mesin (machine-readable) lainnya. Informasi bibliografi biasanya mencakup pengarang, judul, subyek, catatan, data penerbitan dan deskripsi fisik.
Indomarc menguraikan format cantuman bibliografi yang sangat lengkap terdiri dari 700 elemen dan dapat mendeskripsikan dengan baik kebanyakan objek fisik sumber pengetahuan, seperti jenis monograf (BK), manuskrip (AM), dan terbitan berseri (SE) termasuk; Buku Pamflet, Lembar tercetak, Atlas, Skripsi, tesis dan disertasi (baik diterbitkan ataupun tidak), dan Jurnal Buku Langka.
Dublin Core
Dublin Core merupakan salah satu skema metadata yang digunakan untuk web resource description and discovery. Gagasan membuat standar baru agaknya dipengaruhi oleh rasa kurang puas dengan standar MARC yang dianggap terlalu banyak unsurnya dan beberapa istilah yang hanya dimengerti oleh pustakawan serta kurang bisa digunakan untuk sumber informasi dalam web. Elemen Dublin Core dan MARC intinya bisa saling dikonversi.
Metadata Dublin Core memiliki beberapa kekhususan yaitu memiliki deskripsi yang sangat sederhana, semantik atau arti kata yang mudah dikenali secara umum dan expandable memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Metadata yang digunakan dalam Dublin Core terdiri dari 15 unsur, yaitu:
  1. Title : judul dari sumber informasi
  2. Creator : pencipta sumber informasi
  3. Subject : pokok bahasan sumber informasi, biasanya dinyatakan dalam bentuk kata kunci atau nomor klasifikasi
  4. Description : keterangan suatu isi dari sumber informasi, misalnya berupa abstrak, daftar isi atau uraian
  5. Publisher : orang atau badan yang mempublikasikan sumber informasi
  6. Contributor : orang atau badan yang ikut menciptakan sumber informasi
  7. Date : tanggal penciptaan sumber informasi
  8. Type : jenis sumber informasi, nover, laporan, peta dan sebagainya
  9. Format : bentuk fisik sumber informasi, format, ukuran, durasi, sumber informasi
  10. Identifier : nomor atau serangkaian angka dan huruf yang mengidentifikasian sumber informasi. Contoh URL, alamat situs
  11. Source : rujukan ke sumber asal suatu sumber informasi
  12. Language : bahasa yang intelektual yang digunakan sumber informasi
  13. Relation : hubungan antara satu sumber informasi dengan sumber informasi lainnya.
  14. Coverage : cakupan isi ditinjau dari segi geografis atau periode waktu
  15. Rights : pemilik hak cipta sumber informasi
Lantas bagaimana menjaga metadata dalam sebuah perpustakaan digital. Proses menjaga metadata dalam perpustakaan digital tentu berbeda dengan perpustakaan cetak. Karena sifatnya yang digital, metadata sangat rentan mengalami kerusakan atau bahkan kehilangan. Maka dari itu sangat penting untuk melakukan penjagaan metadata perpustakaan digital. Penjagaan ini bisa dilakukan ketika permulaan penciptaan perpustakaan. Dimana perpustakaan harus memiliki kesadaran sistem keamanan yang baik. Kebutuhan menciptakan kesadaran ini memang telah dilakukan diberbagai kesempatan sejak tahun 2008, yang diawali dari insiden kehilangan data. Sudah barang tentu adanya kehilangan semacam itu akan sebuah lembaga atau individu akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Referensi

  • Beall, J. (2010). Measuring duplicate metadata records in library databases. Library Hi Tech News,    27(9/10), 10–12. https://doi.org/10.1108/07419051011110595

  • F. Priyanto, I. (2017). Metadata Perpustakaan Digital. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 2, Yogyakarta.


  • Groenewald, R., & Breytenbach, A. (2011). The use of metadata and preservation methods for continuous access to digital data. The Electronic Library, 29(2), 236–248. https://doi.org/10.1108/02640471111125195

  • Zero - Center. (n.d.). Diambil 24 Februari 2017, dari http://zero-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-69655-Artikel%20Ilmiah-FUNGSIONALITAS%20METADATA%20DALAM%20PERPUSTAKAAN%20DIGITAL.html

Senin, 20 Februari 2017

LIBRARY DESIGN


 
Membahas mengenai desain perpustakaan yang menarik tidak akan berhasil secara optimal apabila kita tidak mengetahui akar permasalahan yang ada. Bagi sebagian orang, perpustakaan di Indonesia di kognisikan sebagai tempat untuk menyimpan buku dengan tata ruang yang biasanya sempit dan jauh dari kesan menarik untuk dikunjungi. Padahal desain dan ruang perpustakaan sangat berpengaruh pada pemakai perpustakaan. Baik focus desain pada penerapan tata cahaya, penerapan warna, penerapan suhu, sirkulasi udara, dekorasi ruangan hingga kenyamanan ruangan.
Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah seorang pustakawan. sering kali seorang arsitek kurang memperhatikan unsur estetika dan fungsi dari sebuah gedung perpustakaan. Maka dari itu sebelum membangun sebuah gedung perpustakaan perlu adanya perencanaan yang matang agar nantinya dapat menciptakan perpustakaan yang nyaman bagi pemustaka dan pustakawan. Untuk itu, pembangunan sebuah gedung perpustakaan harus memiliki setidaknya tim yang terdiri atas :
a. Arsitek
b. Pustakwan
c. Konsultan Pustakawan
d. Desainer interior
e. dan Kepala Lembaga.
            Lantas bagiamana gaya dan focus desain untuk perpustakaan di masa yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba memberikan beberapa unsur kunci yang diambil dari www.buildingfutures.org.uk, dalam mengembangkan perpustakaan di masa yang akan datang.
Pertama, Menentukan Prinsip Dasar.
Hal ini dapat dijelaskan dengan sebuah perpustakaan di masa yang datang harus memiliki prisip kenapa didirikannya sebuah perpustakaan. Misalnya untuk perpustakaan kota, tujuan dan fungsi dibangunnya perpustakaan kota ini sebagai pusat belajar masyarakat, sebagai tempat tujuan yang menarik, sebagai tempat public yang ramah dan nyaman bagi penggunanya. Sehingga perpustakaan kota dapat memberikan desain yang menarik sedemikian rupa agar dapat menarik minat warga masayarakatnya.
Kedua, Perpustakaan sebagai rumah kedua. 
Hubungan antara perpustakaan dan rumah sudah berubah, Karena lebih banyak pemustaka lebih memilih catalog online. Hal ini adalah salah satu dampak dari adanya internet. Maka dari itu perpustakaan sebagai lembaga informasi seakan dilupakan. Untuk itu penting untuk diberlakukan untuk perpustakaan dapat menarik pengunjung dengan cara memiliki dasain yang menarik dan unik. Sehingga fungsi perpustakaan yang salah satunya sebagai tempat bermain dan bersantai dapat kembali lagi.
Ketiga, menjadikan perpustakaan sebagai jendela dunia. 
Artinya adalah bahwa perpustakaan yang secara historis lebih banyak mengeksplorasi buku-buku, jurnal dan bentuk pendidikan dan desain yang ala kadarnya. Maka dengan perpustakaan di masa depan harus juga mencerminkan kebebasan, kesenangan, dan menggunakan teknologi sebagai tambahan. Transparansi antara desain eksterior dan interior akan lebih menarik disbanding salah satu diantara keduanya.
(Kurnia, n.d.)
Referensi :
Kurnia, N. (n.d.). Pengaruh Desain Interior terhadap Kenyamanan Pemustaka di Perpustakaan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. Diambil dari https://www.academia.edu/15379954/Pengaruh_Desain_Interior_terhadap_Kenyamanan_Pemustaka_di_Perpustakaan_Dinas_Kelautan_dan_Perikanan_Provinsi_Jawa_Tengah

Sabtu, 18 Februari 2017

PERPUSTAKAAN DIGITAL : PELUANG DAN TANTANGAN


            Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat, menuntut kita untuk dapat mengikutinya. Salah satunya dalam bidang perpustakaan. Perpustakaan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat ini dituntut dapat menyesuaikan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Istilah perpustakaan biasanya dapat diartikan sebagai pusat media, pusat belajar, sumber pendidikan, pusat informasi, pusat dokumentasi dan pusat rujukan. Kemudian dengan seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, muncul paradigma baru dalam melihat perpustakaan. Untuk perpustakaan modern, dengan paradigm baru ini, koleksi perpustakaan tidak hanya terbatas pada buku-buku, majalah, Koran atau barang tercetak saja, tetapi telah berkembang dalam bentuk terekam yang biasanya disebut dengan digital.
Perubahan bentuk perpustkaan dari yang sebelumnya konvensional menjadi digital ini sebenarnya sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Ranganathan bahwa “The library is a growing organism”. Bagi Ranganathan metamorfosis makhluk hidup yang dia gunakan semata-mata untuk mencitrakan bagaimana perpustakaan berkembang. Berdasarkan anggapan tersebut, maka perpustkaan pasti tak luput dari perubahan sepanjang perjalanan sejarah serta perkembangan peradaban sebagai lingkungan yang memengaruhi kehidupan perpustakaan.
Banyak ahli yang mencoba memberikan definisi perpustakaan digital, seperti yang dikatakan oleh Zainal A. Hasibuan, digital library atau sistem perpustakaan digital merupakan konsep menggunakan internet dan teknologi informasi dalam manajemen perpustakaan. Sedangkan menurut Ismail Fahmi perpustakaan digital adalah sistem yang terdiri dari perangkat hardware dan  software, koleksi elektronik, staf pengelola, pengguna, organisasi, mekanisme kerja, serta layanan dengan memanfaatkan berbagai jenis teknologi informasi. dari kedua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa perpustakaan digital merupakan perpustakaan dimana seluruh koleksi dan proses pengelolaan serta layanannya berupa kumpulan data dalam bentuk digital.
Dengan adanya perpustakaan digital, banyak sekali peluang yang dapat diperoleh seperti: membangun koleksi digital secara nasional, seperti teks, dokumen, gambar, video. Selain itu dapat juga membangun semuah dokumen digital dan membuat links yang kemudian dapat disebarluaskan para orang lain, bahkan dapat menyeleksi sumber-sumber digital dari berbagai sumber yang kemudian diolah dalam sebuah link website, sehingga seorang akan memiliki link website dengan berbagai informasi yang terkumpul didalamnya.
Kemudahan dan peluang adanya perpustakaan digital ini tentu tidak luput dari ancaman negative. Salah satunya adalah kejahatan cybercrime. Dengan munculnya dunia baru yakni cyberspace yang didalamnya memuat perpustakaan digital, sudah barang tentu lingkungan cyberspace ini akan melahirkan berbagai bentuk kajahatan seperti cybercrime, internet fraud, dan lain-lain. Dalam berbagai literature dijelaskan bahwa cybercrime sebagai bentuk kejahatan di bidang computer yang secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan computer secara illegal. Cybercrime juga dirumuskan sebagai perpbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan computer sebagai sarana/alat atau computer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan atau tidak, dengan merugikan orang lain. Keberadaan perpustakaan digital dalam dunia cyberspace sudah barang tentu menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan cybercrime ini. Pelaku cybercrime yang menjadikan pepustakaan digital sebagai objek kejahatannya biasanya mengincar data pengguna, koleksi atau pun sistem keamanan dengan motif untuk kepentingan tertentu misalnya data pengguna untuk dijadikan objek marketing, pencurian koleksi untuk kepentingan komersil, atau hanya sekedar unjuk gigi seorang hacker sebagai pembuktian bahwa dirinya eksis.
            Kejahatan yang berkaitan dengan perpustakaan digital harus mendapatkan perhatian khusu oleh pustakawan, karena hal ini berkaitan dengan kerahasian data, integritas data dan keberadaan data dan sistem opersional perpustakaan digital. Untuk itu pustakawan harus mampu mengidentifikasi serangan-serangan terhadap perpustakaan digital yang dikelolanya agar semua sistem, koleksi dan data yang ada pada perpustakaannya aman dari serangan yang dapat merugikan banyak pihak.

Referensi :
Ali, I. (2011, November 1). KEJAHATAN TERHADAP INFORMASI (CYBERCRIME) DALAM KONTEKS PERPUSTAKAAN DIGITAL KEJAHATAN TERHADAP INFORMASI (CYBERCRIME) DALAM KONTEKS PERPUSTAKAAN DIGITAL [Other]. Diambil 18 Februari 2017, dari http://eprints.rclis.org/16968/
Barner, Keren. 2011. The Library is a Growing Organism: Ranganathan’s Fifth Law of Library Science and the Academic Library in the Digital Era. Library Philosophy and Practice (ejournal). Paper 548. http://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/548/
Fahmi, Ismail. (2004). Inovasi Jaringan Perpustakaan Digital: Network of Networks. Makalah Seminar dan Workshop Sehari Perpustakaan dan Informasi Universitas Muhammadiyah Malang.
Hasibuan, Zainal. (2005). Pengembangan Perpustakaan Digital: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Indonesia.
Pudjiono, *. (2006). Perpustakaan digital: sudah saatnya suatu alternatif pengembangan di perpustakaan [Journal article (Paginated)]. Diambil 18 Februari 2017, dari http://eprints.rclis.org/10449/